SUAMI istri renta itu duduk berdua di bawah
rerimbunan pohon-pohon tua nan besar di kebun mereka. Satu batang randu,
beberapa batang jati, ada juga pohon sukun dan entah pohon apalagi
berjajar tak rapi, menjulang memenuhi kebun.
Kebun itu sempit saja, dengan pinggirannya dipenuhi pokok-pokok
kelapa yang sepertinya belum begitu lama ditanam, mungkin baru dua tiga
tahun belakangan. Salah satu ujungnya adalah rumah mereka dan ujung yang
lain adalah sawah mereka. Tak luas juga, dengan kedalaman yang tak
lazim disebut sawah karena terlalu dalam. Bagian tanahnya sudah digali
sedalam satu setengah meter atau mungkin juga dua meter.
Mereka
menyewakannya pada pembuat batu bata beberapa waktu lalu. Setelah masa
sewa habis, mereka kembali menanami tanah itu.
Setiap pagi mereka beriringan ke sawah, sebentar kemudian ketika
dhuha beranjak naik, mereka pun naik ke kebun. Duduk berdampingan
menghadap ke sawah. Si pria duduk menekuk lutut bercelana komprang hitam
dan bertelanjang dada. Sementara, si wanita duduk berselonjor kaki
berkain jarit selutut dan berkebaya hitam dengan dua lengan bertumpu ke
arah belakang tubuhnya. Mereka akan bertahan di sana hingga lewat waktu
Zhuhur untuk kemudian kembali beriringan menuju rumah. Setelah Ashar,
biasanya mereka muncul lagi di sawah atau kadang mereka tiba-tiba muncul
menjelang Maghrib. Tak usah heran kalau aku begitu hafal kegiatan
mereka. Mereka tinggal di belakang rumahku.
Sebenarnya, aku belum lama memperhatikan mereka karena memang aku
jarang berada di rumah. Tapi, ketika suatu kali aku pulang dan hendak ke
masjid dengan langkah-langkah cepat, aku berpapasan dengan salah satu
dari mereka.
“Masya Allah …!” pekikku dengan kaki mencengkeram tanah dan tubuh condong hampir 45 derajat ke depan.
Sosok di depanku pun seketika berhenti dan susah payah mendongak ke atas. Tubuh bungkuknya bertambah bungkuk dengan beban lumayan besar di punggungnya.
“Masya Allah …!” pekikku dengan kaki mencengkeram tanah dan tubuh condong hampir 45 derajat ke depan.
Sosok di depanku pun seketika berhenti dan susah payah mendongak ke atas. Tubuh bungkuknya bertambah bungkuk dengan beban lumayan besar di punggungnya.
“Tindak mesjid Mas Tomo? (Mau pergi ke masjid Mas Tomo?)”, suara serak si nenek tak menunjukkan kekagetan. Wah, masih awas juga pengelihatannya.
Aku mengangguk, entah terlihat entah tidak.
“Mau ke mana, Mbah?” Aku melirik ke punggungnya.
“Mau ke mana, Mbah?” Aku melirik ke punggungnya.
“Niki lho mas, ndugekke gori pesenane Welas, monggo.… (Ini lho Mas, mengantar nangka pesanan Welas, mari ….)”, jawabnya berlalu dari hadapanku.
Aku meringis bingung. Ini sudah Maghrib, tentu saja hari tak terang
lagi. Yu Welas rumahnya di seberang tanah persawahan yang lumayan luas.
Berarti Mbah Kromo tadi harus menyeberangi sawah-sawah tanpa penerangan,
ditambah lagi tiga parit irigasi yang melintang di antara sawah-sawah
tersebut. Membayangkan itu, aku pun berlari mengejar Mbah Kromo, jikalau
bisa mengantarnya setelah Maghrib. Tapi sepertinya, Mbah Kromo sudah
masuk ke salah satu pematang sawah yang rumpun-rumpun jagungnya mencapai
puncak tertinggi yang banyak berjajar di tiap batas sawah. Tubuh
bungkuknya tentu saja tak jelas terlihat. Karena kebungkukannya sudah
luar biasa, tepat sembilan puluh derajat ke depan. Sementara, masjid
kampung sudah menyuarakan ikamah. Sekarang, aku pun bergegas berputar
arah, tak ingin ketinggalan jamaah.
Mulai saat itu, aku jadi memperhatikan mereka. Usianya sudah lebih
dari 65 tahun. Si kakek jika berjalan sudah sangat kerepotan dengan
posisi lutut menekuk ke depan dan bagian perut ke atas hampir
menengadah. Dia bungkuk ke belakang. Kemudian si nenek, ya itu tadi
bungkuk ke depan tepat 90 derajat dengan tambahan lutut yang juga
menekuk ke depan. Dua-duanya selalu menggunakan bantuan tongkat saat
bepergian.
Mereka tinggal berdua saja di rumah mereka, di belakang rumahku. Dua
anak perempuan mereka telah menikah dan tinggal bersama suami
masing-masing, tapi masih di desa itu juga. Kehidupan anak-anak mereka
juga berkecukupan, setiap pagi bergantian mengantar makanan untuk dua
orang tua tersebut. Beberapa kali mereka membujuk sepasang orang tua itu
untuk tinggal dengan salah satu dari mereka, tapi selalu ditolak.
Mereka memilih tinggal di rumah berdua dan tetap bekerja keras di sawah
mereka.
Aku sendiri heran, untuk apa mereka bekerja sekeras itu. Sangat miris
melihat kakek tua itu mengayunkan cangkulnya, oh, bukan kakek tua yang
mencangkul, tapi sang nenek. Karena tentu saja kakek tua itu kesulitan
mencangkul, lihat saja kondisi badannya. Kakek tua lebih banyak
melakukan pekerjaannya dengan duduk, tak peduli tanah sawah yang
berlumpur.
Pernah suatu kali, hari sudah mulai gelap, azan Maghrib tinggal
beberapa menit lagi. Dua kakek nenek itu tampak masih sibuk di sawah
mereka, masih berjibaku dengan dengan lumpur. Sampai akhirnya mereka
beranjak juga saat azan sudah hampir usai. Aku asyik terpaku mengamati
mereka dengan sarung di tangan. Tiba-tiba tubuh bungkuk nenek tua itu
jatuh tersuruk memeluk pematang sawah. Kakek tua yang kaget menengok dan
kehilangan keseimbangan dan jatuh terpelanting. Tak hanya memeluk
pematang, tapi jatuh tercebur ke genangan sawah yang penuh lumpur.
Secara refleks aku berlari dan membantu mereka bangkit.
“Mbok sudah to Mbah, di rumah saja. Istirahat, perbanyak ibadah,” kataku spontan mengeluarkan unekunekku.
“Walah … Mas Tomo itu, seperti kiai saja bicaranya,” kata Mbah Kromo
setelah pulih keseimbangannya.
Sedang kakek Kromo susah payah melangkahkan kakinya yang menjadi sangat licin berbalut lumpur. Aku melongo, sedikit geli, banyak prihatin. Bukan hanya terpaksa ketinggalan jamaah, bahkan aku harus mengulang mandiku tadi sore karena lumpur di beberapa bagian tubuhku.
Sedang kakek Kromo susah payah melangkahkan kakinya yang menjadi sangat licin berbalut lumpur. Aku melongo, sedikit geli, banyak prihatin. Bukan hanya terpaksa ketinggalan jamaah, bahkan aku harus mengulang mandiku tadi sore karena lumpur di beberapa bagian tubuhku.
“Sudahlah Mas, bisa stres kamu ngurusin orang tua itu,” kata Ibu
menggeleng-nggelengkan kepala. “Mas” adalah panggilan kebesaranku di
rumah, pemberian ibu untuk anak pertamanya ini.
Ibu bukanlah wanita yang tak punya kepedulian terhadap sepasang kakek nenek tetangga kami itu. Tadinya justru ibulah yang paling peduli pada mereka. Berbagi makanan sudah biasa, mengingatkan dan mengajak ke masjid atau ke pengajian rutin dilakukan. Tapi, sekian lama usahanya tak membuahkan hasil, ibu memilih menghentikan aksinya. Bahkan, kadang bersikap tak peduli. Mungkin beliau terlalu berambisi hingga akhirnya jatuh kecewa.
Ibu bukanlah wanita yang tak punya kepedulian terhadap sepasang kakek nenek tetangga kami itu. Tadinya justru ibulah yang paling peduli pada mereka. Berbagi makanan sudah biasa, mengingatkan dan mengajak ke masjid atau ke pengajian rutin dilakukan. Tapi, sekian lama usahanya tak membuahkan hasil, ibu memilih menghentikan aksinya. Bahkan, kadang bersikap tak peduli. Mungkin beliau terlalu berambisi hingga akhirnya jatuh kecewa.
Memang mengenaskan, mereka sama sekali tak menjalankan shalat lima
waktu meski beragama Islam. Bahkan shalat Idhul Fitri dan Idhul Adha
yang setahun hanya sekali pun belum pernah mereka kerjakan. Padahal,
orang-orang tua lain yang seangkatan mereka yang tadinya tak menjalankan
shalat kini banyak yang berubah. Ingat umur dan ajal, kata mereka.
Tapi, tidak dengan dua orang tua ini. Mengapa Allah menutup hati mereka
begitu kuat, entahlah.
Suatu hari aku bertemu dengan Aris, cucu kakek dan nenek tetanggaku
itu. Dia sebaya denganku. Dia Sukses membuka sebuah bengkel variasi
motor.
“Wah … hebat kamu Ris, ternyata kamu mewarisi jiwa kerja keras kakek nenekmu,” kataku sedikit bercanda.
“Ah, kau bisa saja Tom, apa kabar mereka? Sudah lama tak berkunjung
ke sana,” Aris menjawab sambil sibuk dengan motor di depannya.
Aku pun bercerita tentang mereka pada Aris lengkap dengan keherananku. Aris menghela nafas, menghentikan pekerjaannya dan duduk di sampingku.
Aku pun bercerita tentang mereka pada Aris lengkap dengan keherananku. Aris menghela nafas, menghentikan pekerjaannya dan duduk di sampingku.
“Itu juga yang dipikirkan ibuku, Tom. Ibuku merasa sudah kehabisan
cara untuk membujuk si mbah. Ibu juga tak mengerti, mengapa mereka tetap
ingin bekerja sekeras itu hingga meninggalkan kewajiban sebagai orang
Islam,” kata Aris.
“Doa, Ris, mungkin selama ini kalian kurang mendoakan si mbah,”
jawabku menepuk pundak Aris. Aku yakin Aris paham, dia dulu ketua remaja
masjid kampung kami.
Bekerja keras memang tak ada salahnya, dianjurkan malah. Tapi, ketika
kondisi sudah tampak seperti memaksakan diri, hal itu jadi terlihat
aneh, berlebihan. Entah ambisi jenis apa itu. Kebutuhan hidup sudah
tercukupi, tagihan tak ada lagi, ingin apa sudah ada yang siap melayani.
Sedang seruan untuk segera menjalankan perintah-Nya sudah menanti.
Waktu untuk hidup jelas sudah tak lama lagi. Lalu, apa yang dicari?
Menumpuk harta seperti Qorun? Ah, aku menghalau pikiran yang tak tentu.
Kuingat lagi kata Allah dalam kitab-Nya, surat al-Ghasyiyah ayat 22
bahwa kita bukan penguasa mereka, tugas kita hanya mengingatkan. Hidayah
hak prerogatif Allah.
Maka, ya sudahlah, tiap kali mudik di akhir minggu, aku tetap ke
masjid lewat depan rumah mereka. Seperti biasanya, mereka selalu tampak
sedang leyeh-leyeh kecapaian. Dan, selalu masih kusapa mereka dengan
sapaan yang sama tiap minggu.
“Monggo Mbah (Mari Mbah).”
“Nggih Mas Tomo, monggo… (Ya, Mas Tomo, mari…),” jawab mereka selalu.
Beberapa minggu berlalu, aku tak pulang di akhir minggu. Dan, betapa
terkejutnya saat pulang kujumpai rumah sepasang kakek nenek itu sudah
rata dengan tanah. Tak sabar kutanyakan pada ibu apa yang terjadi.
Dari cerita ibu, tahulah aku apa yang terjadi. Dini hari Jumat,
seminggu yang lalu rumah mereka terbakar, konsleting listrik. Tak segera
diketahui karena semua orang sedang lelap-lelapnya tidur. Termasuk
pasangan si mbah tersebut, mereka baru sadar setelah api sangat besar.
Dan, tentu saja kondisi tubuh mereka tak dapat dikompromikan untuk
bergerak cepat menyelamatkan diri. Kakek Kromo meninggal beberapa saat
setelah diselamatkan dari kobaran api, sedang nenek Kromo meninggal
Sabtu pagi di rumah sakit. Entah perasaan apa yang muncul di benakku,
aku bingung doa apa yang harus kupanjatkan untuk mereka. Akhirnya, aku
memilih tak mendoakan apa-apa. (*)
Republika, 29 Januari 2012
Link Sumber: https://lakonhidup.wordpress.com/2012/01/31/mbah-kromo/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar